IPM Bangkalan

Renungan Akhir Ramadhan: Sudahkah Kita Maksimal?

Penulis : IPMawan Fajrian

Pena IPM – Waktu berjalan begitu cepat. Seakan baru kemarin kita menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita, kini bulan suci itu hampir sampai di penghujungnya. Udara yang dahulu terasa begitu berbeda saat tarawih pertama, kini mulai diiringi rasa haru karena perpisahan sudah di depan mata. Lalu, muncul pertanyaan yang mengusik hati: Sudahkah kita maksimal dalam menjalani Ramadhan ini?

Ramadhan adalah tamu istimewa yang hanya datang sekali dalam setahun, membawa sejuta kebaikan dan limpahan rahmat dari Allah. Ia adalah bulan yang di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadar—malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun, apakah kita benar-benar menghargai kehadirannya? Ataukah kita malah terlena dengan rutinitas, sehingga melewati banyak hari tanpa makna?

Mari kita jujur pada diri sendiri. Sudahkah tilawah Al-Qur’an menjadi teman harian kita, bukan sekadar kewajiban yang dikejar target khatam? Sudahkah shalat malam menjadi ruang kita bermunajat panjang, mencurahkan segala harap dan penyesalan? Sudahkah tangan kita ringan bersedekah, atau masih terhalang rasa berat memberi? Sudahkah lisan kita dijaga, hati kita dibersihkan, dan amalan kita disempurnakan?

Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan spiritual, pembersih hati, dan pembentuk karakter taqwa. Maka, jika Ramadhan ini belum kita jalani sepenuhnya dengan maksimal, masih ada waktu untuk memperbaiki. Hari-hari terakhir Ramadhan adalah momen emas. Rasulullah Saw justru semakin bersungguh-sungguh di sepuluh hari terakhir. Beliau memperbanyak ibadah, menjauhi dunia, dan fokus kepada akhirat.

Ibnu Rajab berkata, “Para ulama salafush sholih biasa bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan amal dan bersungguh-sungguh ketika mengerjakannya. Setelah itu, mereka sangat berharap amalan tersebut diterima dan khawatir bila tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam ayat, Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang penuh khawatir, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka” (QS. Al Mu’minun: 60).”

Umar bin ‘Abdul Aziz berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan  kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.”

Ramadhan adalah proses. Bukan hanya tentang satu bulan, tapi tentang membentuk kebiasaan baru yang bertahan setelahnya. Mari jadikan Ramadhan sebagai awal perubahan. Semoga kita keluar dari bulan ini dalam keadaan suci, bersih, dan lebih dekat dengan Allah.

Sudahkah kita maksimal? Jika belum, mari maksimalkan yang tersisa. Semoga Allah menerima amal kita dan mempertemukan kembali dengan Ramadhan yang akan datang. Maka jadikan akhir ramadhan sebagai awal perubahan

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Bagaimana mungkin air mata seorang mukmin tidak berlinang kala berpisah dengan bulan Ramadhan. Sementara dia tidak mengetahui tersisa dari umurnya untuk kembali bertemu dengannya.”

(Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab Al-Hambali,)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *