IPM Bangkalan – Baru kemarin rasa-rasanya kasus selingkuh, KDRT, guyon ‘jangan ya dek ya’ memenuhi kanal media sosial kami. Entah angin dari mana sepertinya elit negeri ini juga ingin viral haus reputasi, sembarang hal dinormalisasi bahkan demokrasi hanya pajangan di balik oligarki pemerintahan yang haha-hihi ini. Porosnya mudah sekali dimengerti—kebijakan-kebijakan belakangan ini lebih banyak didasari kepentingan sendiri.
Majapahit sudah lama runtuh, namun niat baik membangunnya kembali bukan suatu yang pas di negeri penuh keragaman ini.
Mari sekali lagi kita pahami, bahwa kebijakan mahkamah konstitusi adalah akhir dari segala keputusan. Maka seyogyanya mereka yang katanya ‘politisi’ mengerti hukum dasar ini. Bukan menambahi banyak sekali sandiwara hingga rakyat seperti kami ini miris sekali.
Belum lama ini kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia, hari penuh haru bagi jiwa-jiwa yang ditumbuhi cinta atas tanah air Ibu Pertiwi. Namun, hari ini euforia merah putih dicederai tanpa tapi hingga memaksa kami bergelung dengan amarah yang menjadi-jadi.
Mereka—Bapak/Ibu yang terhormat itu berlindung di balik gedung-gedung yang dibangun dari hasil pajak rakyat, kemudian ketawa-ketiwi sambil membicarakan besok apa lagi yang ingin dikorupsi. Sedang cita-cita Koalisi Indonesia Maju yang digaungkan kini telah menjadi gonggongan hewan yang menakutkan bagi rakyatnya sendiri.
Garis bawahi ini bersama-sama, bahwa elemen masyarakat yang turun aksi sudah bukan lagi ditunggangi apa-apa, buka tentang siapa coblos siapa, bukan anak Abah, pasukan oke gas, atau barisan banteng. Yang turun hari ini dilandasi oleh kesadaran penuh bahwa negeri ini sungguh lucu, kami semua dihianati oleh segerombolan penjajah tanpa senjata dan menganggap rakyatnya adalah boneka.
Sudah berapa banyak propaganda yang dibuat tanpa memikirkan kepentingan rakyatnya. Bekerja keras kejar deadline ketok palu dalam semalam, mengkotak-kotakkan kebijakan, memperlihatkan kemunduran yang memalukan.
Kecaman terjadi di mana-mana, dan mereka masih saja tak menampakkan batang hidung, sedang jubir-jubir itu sudah dihujani banyak desakan. Padahal kami tidak banyak meminta, hanya saja pemerintah harus tetap berjalanan sesuai arusnya, tidak usah banyak modifikasi untuk memperkaya diri sendiri. Bangsa ini milik rakyat Indonesia, yang dulu berperang dengan bambu runcing, yang dulu berdarah-darah memperjuangkan NKRI harga mati. Lantas sudah sepantasnya pemilihan wakil rakyat, akan selalu menjadi pesta demokrasi, bukan pesta oligarki yang mengaku-ngaku pemilik bangsa ini. (Putri)